Cahaya Putih Jilbab Matahari

Posted Posted by Penyedia-Layanan in Comments 0 komentar

Siang ini matahari menyengat lebih panas dari hari-hari sebelumnya.
Entah kenapa. Padahal, perkiraan cuaca untuk hari ini justru sama sekali tidak cerah.Apakah karena jilbab putih ini yang menyekat ruang-ruang udara di sekitar wilayah wajahku? Padahal, kata orang warna putih seharusnya tidak terlalu baik dalam menyerap panas.


Siang ini panas matahari benar-benar menyusup ke dalam uluh hatiku.
Panas, sangat panas! Lebih-lebih ketika seisi sekolah mendendangkan satu nama, Sulistiya Rahmawati. Ya, akhirnya gadis manis itu merebut juara pertama lomba olah vokal antar kelas.Muak! Aku benar-benar muak dengannya. Memangnya hanya Sulis yang bisa diagung-agungkan oleh seisi sekolah? Aku pun bisa! Asalkan jilbab putih ini tidak mengikat kepalaku, pasti namaku yang bersenandung, Nandiva Safitri.„Diva, lengan tanganmu kelihatan, tuh!


Nggak enak dilihat sama temen-temen sekelas lainnya. Lebih-lebih laki-laki. Kan sayang auratmu,“ Tukas Sri, salah satu rekan sekelasku yang benar-benar militan terhadap apa-apa yang kukerjakan. Semuanya pasti dikomentari! Baju yang tidak terlalu ketat, rambut yang tak boleh segaris pun terlihat, cara berjalan yang harus seadanya, pandangan yang harus senantiasa terjaga…. Tidak ada yang alpa dari pandangan gadis berjilbab „terpanjang“ satu sekolah itu.


„Iya Sri, ini memang disengaja kok. Kalau lengan kemeja panjang ini sedikit dilipat ke atas aku ngerasa lebih bebas untuk menulis.
Lagipula, gadis berjilbab bukan berarti ketinggalan mode dong?!“ belaku.


Sri tersenyum dingin. Dari gayanya memicingkan sedikit mata, aku tahu ia sedikit kurang suka dengan jawabanku.
Daripada terus berdebat dengan Sri, langsung saja kuayunkan langkahku ke kantor guru. Niatku kali ini sudah cukup bulat. Aku harus mendaftarkan diri dalam lomba olah vokal antar Sekolah se-Jakarta Timur. Aku pasti bisa! Meski dengan beban helaian bahan putih di kepalaku, kurasa itu bukan masalah. Toh, banyak juga artis-artis berjilbab yang masih saja ber“lenggok“ di depan layar kaca. Kalau mereka boleh, kenapa aku tidak?


*****


Sial! Meja Pak Teguh sudah dikerumuni banyak siswa. Tidak kukira. Ternyata lomba yang tinggal seminggu itu sangat banyak diminati. Makin banyak saja sainganku. “Ya Tuhan, walau bagaimanapun aku percaya pasti kau jadikan aku yang terbaik. Bukankah aku hambaMu yang taat?”


Setelah 30 menit menunggu, akhirnya tibalah giliranku. Serentak kusebutkan namaku dan asal kelasku. Aku benar-benar bersemangat. Namun, ada yang ganjil di raut wajah Pak Teguh, entah kenapa? Aku merasa sangat terdiskriminasi, mentang-mentang wajahku berselimut jilbab putih? Tidak adil!
Namun demikian, untungnya Pak Teguh tetap menyertakan namaku, walau sebelumnya, ia masih saja meyakinkanku, apakah aku benar-benar ingin ikut? Tentu saja kujawab tegas, „iya!“ Siapa sih yang belum kenal namaku? Diva, 2 tahun berturut-turut aku selalu menjadi juara olah vokal antar kelas? Pak Teguh pun selalu saja membanggakan namaku. Tentu ia sudah tahu benar bagaimana kemampuanku.


Pandanganku kali ini teralih kepada Sulis. Gadis itu juga berjalan menuju meja Pak Teguh. Sial! Pasti gadis itu juga ingin turut ambil bagian. Dari samping pintu pelan-pelan kulihat pembicaraan Sulis dengan Pak Teguh. Pasti Pak Teguh meminta Sulis benar-benar serius dan berlatih. Karena baru tahun ini sekolah kami ambil bagian di lomba bergengsi ini.


Dan aku percaya, Pak Teguh pasti lebih menjagokan Sulis. Selain cantik, ia juga memang berbakat. Sedangkan aku? Walaupun suaraku tidak kalah hebat dengan suaranya, tapi penampilanku pasti kalah menarik dengan Sulis. Ya! Lagi-lagi gara-gara jilbab putih yang senantiasa terikat di kepalaku.


Ah, andai saja 6 bulan yang lalu pesona Muaz tidak membuat hatiku rapuh.
Andai saja aku tahu, walau dengan jilbab putih ini aku masih belum bisa menarik perhatian ketua rohis itu.
Tetap saja. Semua karena jilbab putihku!


*****


Pagi-pagi Sri dan kawan-kawan lainnya sudah berkerumun di depan kelas. Entah ada kejadian apa. Padahal belum ada hasil ulangan yang akan keluar di minggu-minggu ini. Apakah ada yang ulang tahun?
Ternyata sebuah kejutan! Aku terperangah. Siapa kira, ada yang berbeda dengan penampilan Sulis hari ini. Ia berhijab! Aku tersentak. Ada mukjizat apa?


Sri dan kawan-kawan lainnya terus menyalami dan memeluk Sulis. Senandung yang diucapkan pun sama persis seperti yang kudapatkan dulu, ketika aku memakai jilbab untuk pertama kalinya. „Selamat atas hidayah termahal yang telah kamu dapatkan. Semoga kau senantiasa istiqomah di jalanNya. Dengan berhijab berarti kamu sudah belajar menjunjung keanggunan dan kehormatanmu sebagai seorang wanita. Pun, berati kau menjadikan dirimu intan yang benar-benar memancarkan keanggunan. Bukan, bukan kecantikan yang mudah dipamerkan ke semua orang sembarang, tapi justru kecantikan yang teramat mahal, yang dijaga atas dasar keimanan dan ketaatan. “
Kata-kata itu tidak hanya lewat, namun pekat di jaring-jaring otakku.


Tak kalah ambil bagian, langsung kuhampiri dia seraya kuucapkan,
„Selamat ya Sulis. Kau terlihat lebih anggun dengan jilbab putih itu.
Dan aku sependapat denganmu, berjilbab bukan berarti tidak bisa berkreasi dan berseni kan? Kau sudah siap untuk pertandingan besok kan?“


„Tidak, Va. Aku tidak ikut pertandingan itu,“ tukas Sulis datar.


Hatiku mendadak tersentak.


“Kenapa?”


“Sebenarnya, sejak beberapa waktu lalu aku sudah tidak minat aktif di lomba olah vokal di sekolah ini. Setengah hatiku merasa hilang. Benar-benar hilang. Seiring keluarnya kata-kata syahdu yang bergema di kedua bibirku. Sejalan gerak gemulai yang kutebarkan saat tampil. Jauh di lubuk hati, Kadang-kadang kurasa ada yang salah. Tak bisa kujawab itu apa,“


„Lalu, mengapa waktu itu kau juga mendaftarkan diri kepada Pak Teguh?“ tanya heranku.


„Aku sama sekali tidak mendaftarkan diri, Diva. Pak Teguh-lah yang justru tiba-tiba memanggilku. Dia bertanya kenapa kali ini aku tidak ikut serta. Lalu kujelaskan semuanya kepada Beliau. Betapa malas aku ikut acara-acara seperti itu. Lagipula, suara wanita itu aurat kan, Va?”


Aku tersenyum ringan.


Ya Tuhan, entah hadiah apa yang telah kau berikan?
Doaku di malam-malam seminggu ini terkabul. Sulis batal ikut pertandingan!
Ya Tuhan, kusadari betapa sayang dan cintanya Kau kepada hambaMu ini.
Jeling hatiku menari ceria. Semuanya berjalan sempurna. Kesempatanku untuk menang jauh lebih besar, bahkan tak lagi dapat dipungkiri.


*****


Pagi itu ada yang beda di raut wajah Sri. Ia tak lagi menyapaku. Entah kenapa. Padahal hari ini adalah hari perdanaku. Akan kukerahkan segala kemampuanku.
Ah, Sri, biarlah… Semuanya hanya Tuhan yang tahu. Keputusanku untuk sementara melepas jilbab hari ini adalah keputusan yang sulit. Namun aku sudah bertitah, besok akan kukenalkan jilbab putih itu lagi.
Hanya hari ini Tuhan! Pasti kau akan mengerti. Toh, hari esok masih akan ada. Dan tentunya, matahari masih akan bersinar.


Rinai wajahku siang itu memancarkan sinar indah. Sebuah piala bertuliskan Juara Pertama: Lomba Olah Vokal antar SMU Se-Jakarta Timur terjinjing di tanganku.
Teman-temang terus menyebut dan mengagung-agungkan namaku. Melodi di jiwaku benar-benar berirama. Tak kalah merdu juga pujian Pak Teguh yang terus bergeming di telingaku,
„Diva kamu benar-benar hebat! Kamu masih sangat muda dan berbakat. Selain memiliki suara emas, gayamu di panggung tadi benar-benar menakjubkan.
Teruslah berlatih, satu saat nanti kamu akan menjadi orang yang terkenal. Bapak bangga terhadapmu.“


Satu sekolah benar-benar melantunkan namaku.
Aku benar-benar tersanjung.
Ah, Tuhan, lagi-lagi Kau mengerti aku. Walaupun hari ini gerai rambutku tak lagi tertutup, namun kau masih saja memberiku kesempatan.
NikmatMu tiada tara Tuhan!


*****


Siang itu matahari tidak terlalu menampakkan wajahnya. Udara benar-benar sangat sejuk. Sesejuk lantunan pujian-pujian yang terus menari-nari di hatiku.
Teman-teman di satu Mikrolet pun masih memuji dan membanggakanku.
Hari ini adalah hari yang indah!


Siang itu matahari tidak terlalu bersinar, padahal impian dan cita-citaku kian cerah dan merona.
Tiupan udara dari jalan Mikrolet yang cukup kencang membelai setiap helaian rambutku yang bergerak bebas siang itu.


Lambaian angin melenakanku. Aku terlelap.


Sinar terang sekejap membuka kegelapan yang membongkah di pekat kedua mataku.
Pandanganku langsung tertuju kepada wajah yang kukenal itu, Sri.
„Sri, maafkan aku. Demi Allah! Aku menyesal. Tidak lagi-lagi akan terulang! Aku takut Sri, benar-benar takut…“


Sesosok menyeramkan itu datang! Besar! Aku terus berteriak kencang...
Ampunilah aku Allah!  Ampuunn..Ampuun..Ampuunn..!
Teriak sesalku tak pelak didengar. Sosok itu masih saja menggeretku.
Badanku benar-benar terseret, ia terus menarikku. Tidak dengan tanganku Sri, Ia menyeret tubuhku dengan tarikan keras di rambutku. Setiap utas rambutku berteriak kesakitan. Ubun-ubun kepalaku benar-benar panas, mendidihkan serat-serat kulit kepalaku. Pedih. Sakit yang tak pernah terasakan. Tak tahan akan semua itu …“


“Sri, aku akan berubah…! Tak sanggup kuulang lagi memori mimpi ini. Tidak! Kau mau memaafkan aku ,kan? Kau akan terus menjadi sahabat yang terus mengingatkan aku kan Sri?...“ pohonku seraya terus mendekati Sri.


„Lihat Sri! Lihat! Kali ini wajahku telah terbalut dengan jilbab putih lagi. Bahkan lebih panjang Sri! Aku ingin tubuhku benar-benar tertutup rapat!“


Wajahnya terus memandangku. Belum sepatah kata pun yang keluar dari wajahnya. Hanya air mata di kedua pipinya yang kali ini mengalir deras.
Ia terlihat membatin. Wajahnya yang pucat terus memandangku.
Satu kalimat terakhir yang masih ia alunkan,
Allaahummaghfirlaha warhamha wa´aafihi wa` fu anha…